Kamu mau tahu indahnya rasa sakit,
pedih, perih? Tanyakan pada buah kelapa yang sudah berubah menjadi santan yang
siap dilebur ke dalam masakan bersama racikan bumbu lainnya.
Awalnya buah kelapa itu diambil oleh sang pemilik dengan menggunakan golok, kemudian dijatuhkan ke tanah dari ketinggian. Sabut kelapa lalu disobek-sobek sampai kelapa tertutup rapat di dalam batoknya. Batoknya yang keras itu harus dihancurkan terlebih dulu supaya buah kelapa yang putih itu bisa diambil untuk kemudian dibelah dengan memakai pisau yang tajam. Kulit tipis kecokelatan yang menutupi buah kelapa perlu dikerok sampai habis supaya nantinya tampilan santannya putih benar, tidak bercampur kecokelatan.
Masih ada proses lanjutannya, buah kelapa yang sudah dikerok dan dicuci bersih itu kemudian diparut. Bagaimana rasanya diparut, perihkah? tapi itu harus dilalui si buah kelapa agar dirinya menjadi santan yang berguna bagi penggunanya, yang menyukai masakan bersantan tentunya, atau yang suka membuat jajanan dengan menggunakan santan.
Ibarat perjalanan panjang kehidupan, proses si buah kelapa belum selesai sampai di sini. Setelah diparut sampai habis, parutan kelapa itu kemudian diperas-peras untuk diambil sari santannya, diperas di atas saringan untuk memastikan santan tidak bercampur dengan parutan kelapa yang lembut sekalipun.
Sudah selesai? Belum. Santan kental dan santan encer sudah diletakkan di dua wadah yang berbeda. Pun demikian, santan tidak bisa berdiri sendiri. Untuk menjadi berarti, ia harus bersatu padu dengan aneka bumbu lainnya apabila ingin dibuat masakan gulai ayam misalnya, bersama bawang merah, bawang putih, cabe, lengkuas, daun salam, garam, gula, dan kawan-kawannya dengan ukuran sesuai selera
Begitu pula dengan kehidupan kita di dunia, terkadang kita harus merasakan sakit terlebih dahulu barulah kita akan bahagia. Kita akan mejadi kuat, tegar, dan bermanfaat setelah kita terjatuh, sakit, dan hal pahit lainnya yang menghampiri kehidupan kita. Rasa sakit dan perih itu akan berbuah manis dan indah. Seperti ular yang harus berpuasa agar dapat mengeluarkan bisa. Kalau kata pribahasa Sunda "lamun hoyong peurah, kudu peurih". -Inne Marthyane Pratiwi-
Awalnya buah kelapa itu diambil oleh sang pemilik dengan menggunakan golok, kemudian dijatuhkan ke tanah dari ketinggian. Sabut kelapa lalu disobek-sobek sampai kelapa tertutup rapat di dalam batoknya. Batoknya yang keras itu harus dihancurkan terlebih dulu supaya buah kelapa yang putih itu bisa diambil untuk kemudian dibelah dengan memakai pisau yang tajam. Kulit tipis kecokelatan yang menutupi buah kelapa perlu dikerok sampai habis supaya nantinya tampilan santannya putih benar, tidak bercampur kecokelatan.
Masih ada proses lanjutannya, buah kelapa yang sudah dikerok dan dicuci bersih itu kemudian diparut. Bagaimana rasanya diparut, perihkah? tapi itu harus dilalui si buah kelapa agar dirinya menjadi santan yang berguna bagi penggunanya, yang menyukai masakan bersantan tentunya, atau yang suka membuat jajanan dengan menggunakan santan.
Ibarat perjalanan panjang kehidupan, proses si buah kelapa belum selesai sampai di sini. Setelah diparut sampai habis, parutan kelapa itu kemudian diperas-peras untuk diambil sari santannya, diperas di atas saringan untuk memastikan santan tidak bercampur dengan parutan kelapa yang lembut sekalipun.
Sudah selesai? Belum. Santan kental dan santan encer sudah diletakkan di dua wadah yang berbeda. Pun demikian, santan tidak bisa berdiri sendiri. Untuk menjadi berarti, ia harus bersatu padu dengan aneka bumbu lainnya apabila ingin dibuat masakan gulai ayam misalnya, bersama bawang merah, bawang putih, cabe, lengkuas, daun salam, garam, gula, dan kawan-kawannya dengan ukuran sesuai selera
Begitu pula dengan kehidupan kita di dunia, terkadang kita harus merasakan sakit terlebih dahulu barulah kita akan bahagia. Kita akan mejadi kuat, tegar, dan bermanfaat setelah kita terjatuh, sakit, dan hal pahit lainnya yang menghampiri kehidupan kita. Rasa sakit dan perih itu akan berbuah manis dan indah. Seperti ular yang harus berpuasa agar dapat mengeluarkan bisa. Kalau kata pribahasa Sunda "lamun hoyong peurah, kudu peurih". -Inne Marthyane Pratiwi-